Informasi Berita Harian Terbaru Terkini

Belajar dari Masyarakat Adat

AkhbarulYaum.com.  Belajar dari Masyarakat Adat


Di Indonesia, terdapat banyak komunitas masyarakat adat. Yaitu kelompok masyarakat yang masih mempertahankan adat kebiasaan “karuhun” nya dalam menjalani hidup dan kehidupan sehari-hari. Segala ucapan, tindakan, dan prediksi masa depan, selalu berpedoman kepada segala sesuatu yang pernah dan sudah digariskan leluhurnya di masa lampau. Mulai dari cara mencari nafkah, memelihara kelestarian alam, adab tatakrama sosial, dan lain sebagainya. Mereka mencoba bertahan di tengah perubahan zaman yang sangat cepat dan maju. Tentu saja dengan berbagai risiko yang membawa beraneka macam terhadap nilai-nilai tradisi yang mereka kukuhi.

Di Tatar Pasundan (meliputi Jawa Barat dan Banten), keberadaan masyarakat adat cukup mengakar. Memberi corak dan sumbangan tersendiri bagi lingkungan geografisnya. Seperti Kanekes Baduy di Kab. Lebak, Citorek di Kab.Pandeglang (Prov.Banten), Kampung Naga (Kab.Tasikmalaya), Kampung Dukuh dan Pulo Cangkuang (Kab.Garut), Cigugur (Kab.Kuningan), Sirnaresmi (Kab.Sukabumi), Kuta (Kab.Ciamis), dan sebagainya.

Sejauh dan selama ini, masyarakat yang berada di luar komunitas adat (sering merasa sebagai komunitas masyarakat “moderen”) belum mampu menempatkan posisi, peran dan fungsi masyarakat adat, sebabagai bagian dari dinamika modernitas. Masyarakat adat lebih sering ditempatkan sebagai obyek kajian dan bahan tontotan, daripada sebagai sumber kearifan dan tuntunan. Masyarakat adat di tengah percaturan kehidupan moderen Indonesia, dianggap sebatas tujuan wisata. Sehingga kadang-kadang dimanfaatkan sebagai sumber Penghasilan Asli Daerah (PAD) melalui restribusi tanda masuk, parkir, dan sejenisnya. 

Akibatnya, pengunjung tidak mendapat timbal balik apa-apa, selain sekedar kepuasan sepintas sebatas nilai uang restribusi saja. Sementara pemerintah setempat, tidak pernah berpikir lebih jauh lagi, selain mempertahankan atau kalau mungkin meningkatkan “hasil penjualan” karcis masuk ke lokasi masyarakat adat itu.

Padahal, seharusnya, masyarakat adat tidak ditempatkan pada posisi setara obyek wisata. Masyarakat adat bukan obyek mati seperti panorama laut, gunung, danau atau keindahan alam lainnya. Masyarakat adat adalah subyek yang hidup. Sebuah sosok khasanah budaya yang perlu pemahaman manusiawi dan intelek. Masyarakat adat bukan fosil masa lampau yang cuma sekedar pajangan di lemari musium. Masyarakat adat sesungguhnya manusia yang mencoba memahami realitas modernisasi dengan cara dan acuan tersendiri, melalui “pitutur sepuh”.

Pandangan salah yang digunakan masyarakat “non-adat” – termasuk pemerintah – itu, menjadikan kontribusi masyarakat adat terhadap “dunia” di luar mereka, tersumbat. Demikian pula, kontribusi masyarakat “non adat” terhadap masyarakat adat, tidak bermakna apa-apa. Tidak ada “simbiose mutualistis” akibat kesalahan pemahaman dan penanganan sejak awal.

Sehingga di beberapa komunitas masyarakat adat, sering muncul pertanyaan, keuntungan apa yang diperoleh masyarakat adat dari kunjungan-kunjungan para wisatawan domestik dan mancanegara ? Hanya sekedar berfotoria, menghirup udara segar di tengah hutan belantara rimbun lebat ? Berendam sambil berketipung di dalam aliran air sungai jernih ? Kemudian setelah pulang, masyarakat adat sibuk membersihkan berbagai jenis sampah berserakan.

Tidak ada satupun mutiara kehidupan masyarakat adat yang berhasil digali, kemudian diterapkan di tengah kehidupan masyarakat “non-adat” yang konon maju dan moderen (secara material) namun harus diakui sangat barbar dan primitif (secara moral). Mutiara kehidupan yang berkilau (walau sudah meredup akibat desakan ekstrenal) antara lain, kesadaran akan pemeliharaan lingkungan. Ekologi sebagai ilmu mungkin sudah sangat dikuasai oleh masyakarat moderen. Namun secara terapan, hanya berlaku di kalangan masyarakat adat yang sama sekali tidak belajar ekologi dari bangku sekolah. Mereka hanya taat kepada tradisi karuhun. Bahwa merusak hutan “pamali” (terlarang). Menebang pohon tanpa alasan yang jelas, apalagi secara habis-habisan, termasuk pekerjaan “cadu” (tabu). Menangkap ikan hanya diperbolehkan selama menggunakan tatacara yang baik, tidak “kokomoan” (rakus), dan jangan “popohoan” (lupa waktu dan ukuran). Sehingga alat-alat penangkap ikan, bercorak sangat sederhana. Mulai dari pancing, sirib, susug, bubu, ayakan, sair. Bahkan menggunakan tangan kosong dengan cara “ngagogo” atau “kokodok” di sela-sela batu atau lubang-lubang tepi sungai. Sangat pantang menggunakan racun fotas atau alat setrum listrik, yang termasuk amat melanggar batas-batas “pamali” dan “pacaduan”. Sudah termasuk “kokomoan” dan “popohoan”.

Itu hanya satu aspek dari kekayaan rohani masyakat adat yang masih dipertahankan oleh mereka dalam memelihara lingkungan, yang menjadi sumber nafkah kehidupan mereka. Sebuah tradisi linuhung yang tak pernah diserap oleh masyarakat “non adat” kendati sering mengunjungi komunitas masyarakat adat, baik sebagai turis maupun sebagai pengamat.

Mungkin hal tersebut sebagai dampak dari penempatan masyarakat adat yang hanya merupakan pajangan tontonan daripada sebagai sumber tuntunan. Sebagai sumber restribusi material, bukan sumber kontribusi moral

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Belajar dari Masyarakat Adat

0 comments:

Post a Comment